Selain harus terus waspada terhadap kemungkinan teror bom dari teroris,
selayaknya Indonesia juga berhati-hati pada bom lain yang tak kalah dahsyatnya,
“bom waktu” epidemi HIV/AIDS yang tidak mustahil akan menewaskan ratusan ribu
warga dalam 10 tahun mendatang.
Data termutakhir dari Kementrian Kesehatan, sampai saat ini jumlah kasus HIV
di Indonesia sekitar masih tergolong tinggi. Beberapa tahun lalu Indonesia
sempat masuk satu dari lima besar jumlah infeksi HIV di Asia, bersama India,
Thailand, Myanmar, dan Nepal.
Bahkan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) juga mencatat kasus
kumulatif AIDS di kalangan perempuan di Indonesia hingga tahun 2010 menunjukkan
rekor tertinggi dipegang oleh ibu rumah tangga yakni 1970 kasus. Ini di luar
dugaan banyak orang yang mengira kasus tertinggi pada pekerja seks.
Salah satu konsekuensi dari epidemi ganda HIV/AIDS adalah meningkatnya
jumlah bayi dan anak yang terinfeksi HIV. Sudah banyak ditemukan dalam suatu
keluarga, suami dan istri serta anak mereka positif HIV atau ada anggota
keluarga yang sudah meninggal karena AIDS.
Wanita pekerja seks di Indonesia sering dianggap sebagai biang masalah
penularan HIV, padahal yang perlu dipandang sebagai masalah adalah pria
pelanggan mereka. Kaum lelaki harus diadvokasi untuk lebih bertanggung jawab
dalam perilaku seksnya.
Kaum lelaki berpotensi menjadi “jembatan penularan” HIV ke istri dan
anak-anak mereka. Sebanyak 1,6 juta perempuan beresiko tinggi tertular HIV
karena menikah dengan laki-laki beresiko tinggi, yaitu yang membeli jasa seks
atau memakai narkoba suntik secara bergantian.
PUP
Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama dan Negara
Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh
pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh
pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan
gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas
Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang
bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut
bernilai negatif.
Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader
calon penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap
masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan
Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama.
Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini
bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat
yakin bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur.
Bahkan jaman dulu pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk
di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat
tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb.
Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus
globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat.
Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan
lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus
kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan
yang lebih luas.
Pernikahan Dini menurut Negara
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam
Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini
tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar
kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan
mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik
bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi
sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini
disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang
belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai
banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan
diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
Pernikahan Dini menurut Islam
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap
agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini,
satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh
sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar
jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus
melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya
geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini.
Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan,
secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara
dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah
pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang
sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut
kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide
yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang
pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial
pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan
keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia
lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami
masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga
dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6
tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang
tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini.
Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping
itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia
sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan
sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi
konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai
lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap.
Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah
terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik
dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh
diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita
tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang
mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka
anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat
ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan
norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan
itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini
menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan.
Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir
tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang
kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal
itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak
?
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia
pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa
rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Syatiby dalam magnum
opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar hukum
Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu merespon dinamika
perkembangan zaman.
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama
sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini
adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi
usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan
yang cukup dilematis.
Menyikapi masalah tersebut, penulis teringat dengan gagasan Izzudin Ibn
Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua
kemaslahatan, maka kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama
untuk dilaksanakan.
Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat
individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi
masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari
kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik.
Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung
nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama. Wallahu A’lam